Tuhan, kemana takdir ku tempuh?
Sementara ini aku tak tahu siapa diriku ini
Sementara perasaan murung tertumpah di sebuah coretan diari
Membentuk diksi-diksi penyesalan bercampur ketakutan yang tak karib
Sampai dewasa pun kita tak saling mengenal
Aku pun tak di kenal
Tak memahami hati
Sekelebat berkaca pada cahaya rembulan
Bayangan yang memantul darinya serasa murung, suram dan berdarah nanah..
Aku berlari dari rasa takhayul
Menuju penebusan sajadah panjang
Namun tak ku temui siapa aku
Selain rasa bersalah, berserah sejurus menyerah yang mengucilkan pijakan
Berteriak lantang memanggil asma Tuhan
Malah turun hujan deras
Merembes di dinding
Merobek plafon kamar
Aku kedinginan
Dingin penyebab masuk angin adalah duka terdalam peradaban yatim-piatu
Gemetaran memberatkan perut sampai ubun kepala
Ku lawan rasa menggigil
Ku lumuri balsem dengan meraba-raba pori-pori kulit
Hangat sebentar menunda demam di badan
Bibir ku tambah gelagapan
Bergumam seraya merengek lafalkan doa berbahasa ibu menyebut Baginda Tuhan
Berharap Baginda Tuhan memberikan solusi dari selusin teka-teki esok hari yang angker
Bisakah rasa minder musnah?
Sanggupkah keberanian terang gemilang?
Bertahan panjang dari kemandirian memfungsikan nalar?
Apalagi aku tak memegang apa-apa
Sebagai prasyarat bekal kesehatan
Kecuali daging dada mengeras
Diikuti panas suhu badan menjalari sekujur
Dan kepongahan sarang laba-laba yang menjadikan mereka penguasa tembok kamar
Pijar lampu kamar redup, sungguh aku berada dalam suasana terungku kelabu
Tanpa kawan bercakap
Dengan nyenyat melekap
Nafas yang megap-megap
Dan perangaiku lekas tergegap-gegap
Hidup yang tak fitrah
Membuat siapa pun manusia itu menamakan dirinya
Terasa terbuang dari megapolitan zaman
Tersisih tanpa dianggap anak zaman
Semakin mengunci diri dalam penjara puritan
Bukanlah pemecahan problema pagebluk inferior kompleks
Dan hujan surut
Ku gusur kepengapan oleh tumpukan peristiwa
Dengan keluar kamar melompati pagar kenyaman semu
Meski demam badan tak jua susut
Ku desak berjalan kaki ke pekarangan kebun
Basah dan tikaman malam masih menguat
Ku siasati malam angkuh dengan jaket bomber peninggalan mantan
Di kebun tersembunyi telaga putih yang air nya perawan
Ku reguk air telaga agar mencaharkan kotoran usus kecilku
Gemercik air menentramkan jiwa nelangsa
Sedikit demi sedikit ku tenggak hening
Memasang gestur semadi
Meluangkan pikiran berdiskusi dengan emosi
Kasihan, cuma sebentar ku bercengkrama dengan kekhusyukan arus harmoni telaga
Selanjutnya kudapatkan diri ku begitu ganjil
Tak kenal pribadi sendiri
Terbungkam tak hakiki
Kemana langkah berikutnya?
Aku pun tak tahu
Aku berkaca pada gelembung dari telaga putih
Ku amati wajah ku menua, terasing dan terlupakan
Sayatan capuk hitam menggurat pada kening
Menandakan aku terusir dari cita dan cinta
Jogjakarta, 6 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar