Minggu Sore Kelabu

Oleh: Satrio Kumboro


Tanpa sastra kamu tak mampu menjelajahi misteri samudera hati

Kamu tak akan memahami

Duka ini

Begitu bergelombang melodi tetapi sungguh mampus

Inilah hati yang menulis puisi

Kamu tak akan piawai mengeja kesedihanku

Sebab hatiku tersusun dari pengalaman amarah dan angkara

Perlu kamu ketahui sebelum usia mu beranjak kepala tiga nanti

Wanita sangat sedikit menerima wawasan kesusasteraan

Jika yang dikejar dan kerjakan hanya persoalan dandan dan hegemoni

Lagipula sastra bukan dari bahasa kosong belaka

Benda unik ini

Terlahir dari rahim derita hidup akibat penindasan serta kesewenang-wenangan


Sebenarnya ketimpangan antara kita

Mampu teratasi dengan dewasa

Tetapi kematangan nafkah

Jadi kunci, jurang kepincangan membeda-bedakan hari esok bisa makan apa?

Oke, puisi memang kata-kata

Tanpa perut terisi dan tabungan hari depan, kata-kata cuma retorika belaka

Hardik ibumu padaku suatu ketika


Aku menyeru namamu

Memohon tatap muka terakhir

Perjumpaan dilunasi oleh perpisahan

Aku pun tak pernah ngeri berkenaan perkara ini

Hanya setelah perpisahan akan ada hampa mengerikan

Fenomena alam melukiskannya

Di awan hitam berarak

Dia menerjemahkan doa mendung

Gelintin melayang-layang pada pertengahannya

Membentuk wajah perpisahan

Wajah mu

Tangismu dua hari dua malam dahulu


Ajakan sebuah perayaan selamat tinggal

Kamu setujui

Kita berhadapan menung sebentar

Duduk mendekat

Setara denganku, kau samar terpaku mengamati kursi peron mulai gaduh oleh calon penumpang beserta keluarganya

Menunggu kereta Kutojaya jurusan Purworejo-Senen datang


Kesempatan sore ini

Berasa kejam jarum jam bergerak

Kamu telak menegur

Lantas menggugat; amor dalam batin manusia, biang dari derita kita

Dari amor tergenggam hasrat kepemilikan

Dari kepemilikan, manusia adu klaim paling pantas berkasih mengasihi

Selalu, budaya patah menetas dari roman-roman kecewa macam ini

Menyebalkan asal muasal tragedi yang jemu berkisar

Kita membijaki nya 

menganggap nya preseden

Padahal kita hanya rapuh hadapi tubian

Lantas membiarkan amor memangsa vitalitas


Kamu benar

Dasarnya memang kamu intelek

Nasehatmu menghadapi kenyataan

Walau kegesitan intelektual mu terbelenggu tempurung kepatuhan santun kepada ibu mu


Kamu dermawan

Betapa kepentingan mu

Kamu rahasiakan dalam batin sengsara

Agar kesusahan orang lain

Lebih dulu ditemukan penawar

Ahh, kamu yang baik dan empati kepada belasungkawa

Bagaimana bisa aku lupakan jasa dan segenap pertolongan mu?

Takkan mampu

Ia akan selalu hidup bersama sisa umurku


Kereta tiba

Tepat janji jam kedatangan

Bising suara

Ada mesin lokomotif, gilasan roda, canda anak-anak, rengekan kakek-nenek pensiunan, keresahan terpendam, suara-suara gambaran menyenangkan menuju metropolitan Jakarta

Semuanya membaur

Menangkap perpisahan sementara

Dan perpisahan abadi, mungkin milik kita

Selagi kamu lengah bertolak muka dari muka ku sebab asyik melamun pada keceriaan dua anak kecil yang bersenda gurau

Aku merekam momen ini

Agar tak lenyap ingat untuk menulis perpisahan dalam buku diari coklat 


Kita resmi putus

Aku memandangi bibirmu yang gugup

Hati mu coba mengemis kuat dan sekuat tenaga tak gugur

Meski air mata mu luruh basahi pipi cekungmu

Karena wanita tak sanggup membohongi perasaan sedih lebih dari 3 jam

Dari ketika dia pertama menerima dakwa sebagai pelaku menyakitkan perpisahan

Ku rapatkan posisi badanmu

Memelukmu, menciumi mu lebih lama dari kelaziman

Membelai tengkuk, punggung, dan pundak mu lebih hangat dari kebiasaan


Aku menampik terisak tangis

Gara gara aku, lelaki menguatkan ketahanan diri

Hanya pintu masuk trauma menganga luas

Semua kecewa bebas masuk menjajah

Ketika terjadi

Aku akan lebih lumpuh dan tumpul dari nestapa mu



4 warsa berlalu pasca putus

Aku betah menjaring kesunyian ku

Kesepian telah menohok

Dalam pergumulan sendiri, merenung terbungkus pilu

Kolega, sanak dan asmara tak berkabar temu

aku bagai gumpalan waktu tak bertuju


Purworejo, 2018, Stasiun Kutoarjo





Komentar

Postingan Populer