Salatiga


Oleh: Satrio Kumboro

18 tahun berlalu terasa waktu lambat mengembat dinding jam tahunan

Tak terasa di rentang jam-jam detik sepanjang lusinan hitungan

Aku kembali pada mu ibu

Bersimpuh di makam tua mu ibu

Ku beritakan pada ibu

Di tahun yang sama peziarahan ku ini di kota mu

bapak kembali padaNya, bersahut damai di Utara Jakarta
Uh, begitu banyak penggalan-penggalan kata untuknya, ibu

Belum ku tuntaskan jadi doa indah menggores unsur kalbu

Ada beraneka aksara rohani untuk nya berpencaran tak tentu, ibu

Belum ku pahat mutlak di selembar daun merah jambu

Sebagai petanda kado tertunda

Yang tak sempat ku baptiskan di bibir kering dan pipi cekung nya

ketika beliau masih hidup dan memberi ku buku bergambar cerita keluarga kita dulu

Maka izinkan malam ini, ibu

Tepat minggu dua bulan lalu ketika sebilah duka menyapa ku di ujung permenungan kelu

Ku kenangkan sekejap kepulangan bapak

Biar Ku panjatkan sajak-sajak litani suci buat bapak dan ibu

Meski ini bukan sajak utuh

Karena tak akan pernah mampu ku tulis puisi

Bisa sanggup menebus kerinduan menggebu ku pada bapak dan ibu

Memang tak ada kidung yang lebih indah

Dari untaian kata "ibu", sepantasnya ucapan selamat datang kepada bumi raya

Tak ada nyanyian yang lebih digdaya

Dari untaian kata "bapak", selayaknya doa tulus berkelipan cahaya

Jendela-jendela hiruk pikuk dunia bergelayut mengintip bising malam mendung

Ku lihat dengan mata letih dari lebar pintu jendela ini

Gemintang bersemburat cahaya nya membentuk wajah kemanusiaan dan keberanian

Lambangkan cinta ibu dan obituari bapak

Aku ingin berpeluk dan membagi mainan waktu bersama kalian

Persis bocah bau kencur yang was-was kehilangan

Lantas begitu naif dan lugu, takut kehilangan harta terpentingnya itu

berusaha polos menjaga sandaran peluk dan tangan kasih bapak dan ibu yang mengelus hati rikuh ku
Tak jauh dari bangunan makam ibu berpijak

Ku renungi tikaman cahaya rembulan kemarau yang memukau kelopak anggrek dan memagut batang-batang bambu, masihlah pemandangan sama sewaktu pertama aku menjengukmu

Juga berderet-deret hempasan gugur bunga Kamboja

Masih harmonis turun ke tanah, menyepai aroma khas nya di penjuru nyenyat keramik, gerbang, gapura makam

Peristiwa ini tetaplah pemunculan keheningan sama

Bunyi lonceng pedati berkuda membawa kabar gembira

Di sini, di makam mu ibu, 18 tahun tak ada pertemuan batin, akhirnya kita dapat saling nostalgia tentang kebisuan nasib

Anak dan ibu biar pun sudah berbeda dimensi

Tetaplah wasilah yang terhubung abadi
Sudah terlampau panjang Bu, nama dan frekuensi sejarah membasuh cerita hidupku

Ia bergerak dampingi jalan panjang dan berliku

Sangat haru bila ku petik kisah-kisah ku satu persatu untuk mu

Meski sejujurnya ingin lebih lama aku di sisi mu ibu

Biar ku pilihkan untukmu ibu, mana kisah ironi, suka dan pilu dari ku

Atau mau kah kau terima saja bilur tertahan di kelopak sembabku ini Bu?

Sayatan-sayatan bilur ini ku adukan pada mu

Dalam linangan tangis di batin
Aku lelaki berjuang pantang cengeng

Namun, bila ini menyangkut kenangan dan kerinduan pada ibu

Aku masih bocah mu ibu

Yang mudah riang dan gampang berduka
Dari kerasnya pengalaman hidup ini Bu

Aku belajar lebih tangguh dari sekedar kehilangan dan ketakutan yang sempat mereka pikirkan

Aku belajar berdamai dengan diriku sendiri

Memaafkan cercaan dan hinaan yang pernah membelenggu kecewa ku
Di kota mu, Salatiga yang tenteram dan toleran

Kata-kata ternyata tak cuma kata-kata

Benda unik bermaslahat ini telah bersemayam jadi penghubung jiwa kita

Namun menjelang perpisahan, amanat mu membisik keheningan

"Kata-kata bisa jadi doa dan serapah"

"Berhematlah dalam mengucap kata"

"Gunakan kepekaan mu di hati, bukan kata yang mubazir"

Agak terhentakku menyadarinya

Memang ini tepat Bu, makin terjadi bertubian, bahwa kata-kata di bumi ini tak lebih berupa gincu penghias kebusukan lidah

Salatiga, 18 Juni 2018


Komentar

Postingan Populer