Gadis penjual stiker



Oleh : Satrio Kumboro

Sabtu awal dari bulan Agustus 2019. Dari  jendela kamar yang penerangan lampunya cukup rendah sehingga menghasilkan suasana setengah muram di dalamnya. Aku menerima pancaran senja bercahaya jingga berpiaskan awan gelap. Di kamar ini pula aku merasakan terpenjara ruang dan  waktu untuk mengenang kembali pertemuan dengan mu pada 3 minggu lalu, ya pertemuan bersahaja.  Pertemuan biasa untuk mu, tetapi istimewa bagi ku. Sunmore UGM 3 minggu lalu, aku menghampiri lapakmu yang menjajakan sticker dinding. 

Ku lukiskan parasmu dari dekat menggunakan alat bantu yang disebut mata. Selanjutnya aku melukis lebih puitis senyum yang tersungging di bibir mu dengan hati dan batin yang tak mengatakan apapun selain cinta dan kagum. Aku terpukau oleh bening kedua bola matamu, waktu seakan melambat 3 detik dari semestinya, begitu pun degup jantungku juga lamban bergetar, ada suara lain di dadaku. Sebuah suara yang mempermainkan adrenalinku dengan kecanggungan ku, cerminan dari suara aneh di dadaku ini, membuatku hanya mampu mematung di hadapanmu sembari menulis puisi kalbu lewat udara. Kenapa sewaktu itu aku gugup? 


Barangkali karena garis manis di antara hidung dan bibirmu mencerminkan kesejukan tutur bahasa mu. Perangai tenang dan kalem tanpa perlu banyak kata maupun tingkah, ternyata mampu singkirkan kegaduhan di sekitar mu. Mungkin aku gugup karena puisi dari rongga mulut ku tak mampu memecahkan misteri cinta ini. Aku cuman mampu bertahan 3 menit beradu pandangmu, selebihnya aku bak seorang bocah yang takjub pada kombinasi estetika dari semburat senja dengan pelangi. Ya kau seakan memadukan senja dan pelangi, mereka berdua berdialog untuk mencipratkan aura nya di pipi putih mu. Ini berlebihan kah adik? Metafora-metafora sudah terlampau kolot untuk mu? Oke kita bikin ikrar agar kapan bisa saling berdialog manja dengan terjemahan saling pandang..?


Yogyakarta, 3 Agustus 2019


Komentar

Postingan Populer