Permenungan tertulis namun tak berbobot

Peran seniman dan sastrawan seharusnya memiliki keberpihakan. Suatu keberpihakan pada pembelaan nasib masyarakat di kelas terbawah yang paling merasakan terjangan penindasan akibat sistem penjajahan oleh sesama bangsa nya sendiri (kaum komprador). Ini yang patut dipertanyakan maupun digugat penikmat sastra dan kritikus sastra kepada sastrawan zaman ini. Ketika iklim politik sedang mendung tak menentu dan timbul anomali kebangsaan tanpa tujuan pasti, terombang-ambing nya arah demokrasi bangsa ini. Belum lagi kegaduhan politik akibat centang - perenangnya konflik dua kubu elite politik (agamawan ekstrimis dan oportunis juga terseret ke dalam perseteruan ini) pertanyaan sekaligus gugatan kepada sastrawan pun mengemuka di bumi manusia. "Sekuat apakah peran sastrawan dengan pencerahan karya nya mampu memberikan greget dan perbaikan bagi alam pikiran manusia Indonesia zaman ini?" Apakah tulisan-tulisan sastrawan zaman ini mampu menstimulasi manusia-manusia Indonesia menjadi manusia seutuhnya, baik dalam berdialektika maupun dalam perbuatan. Hal ini patut jadi pertanyaan urgen kepada moral dunia sastra kita yang sedang redup atau mengalami dekadensi.


Ketika televisi, media massa dan jejaring sosial digital terkesan risih bahkan enggan mengabarkan informasi teraktual tentang bagian-bagian belahan bumi manusia Indonesia yang masih di liputi kemiskinan, penggusuran tempat tinggal, eksploitasi lahan berladang serta bertani oleh investor asing maupun nasional sehingga menjadikan lahan penghidupan masyarakat desa jadi pabrik-pabrik beserta fungsi pengoperasian nya yang merusak kelestarian dan keharmonisan alam pedesaan. Lantas berada di manakah peran seorang seniman dan sastrawan untuk membela nasib-nasib manusia Indonesia yang masih menjadi gelandangan dari tuan-tuan "asing" di tanah pertiwi nya sendiri ini?

Berada di pihak manakah kalian sastrawan dan seniman Indonesia? Di pihak yang nyaman dalam gedung kesenian sembari melihat dari kaca jendelanya untuk menangkap fenomena delusi dari sebuah estetika yang dengan serta-merta orgasme memuja-muji dewi kesenian yang telah meninabobokan kesadaran realisme sosial kalian? Atau kalian memilih larut  berada dalam pihak yang satu frekuensi untuk membela nasib kaum buruh kota, petani miskin, korban penggusuran, pelacur termarjinalkan, proletar, dan jutaan anak bangsa tanpa di naungi keadilan? Atau kah kalian mau berada di pilihan paling aneh dan rumit, yakni memilih jalan hidup seorang moderat (oportunis)?

 Saya pun jadi teringat tulisan sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah buku terbitan Yayasan Bentang Budaya (1997) yang ternukilkan, "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran." - Satrio Kumboro



Sabtu Sore, 15 Juni 2019

Komentar

Postingan Populer