Menyikapi Pandemi dalam Perspektif Sensitif Seorang Pengangguran
Oleh: Satrio Kumboro
Ini tulisan perdana ku, yang aku kirimkan pada redaktur mojok, semoga sih dimuat supaya aku dapat honor. Biar menjadi pelipur lara ku, golongan pengangguran akibat dampak pandemi covid-19. Virus yang tega, sebab tak pilih lawan dalam menyerang finansial individu, padahal aku hanya pegawai bergaji dibawah UMR Jogja, tetapi kena PHK juga, melas kan? Sengsara? Banget, merana? Ya iyalah, kena PHK berarti minus pendapatan pasti tiap bulannya, mosok harus pura-pura tetap bahagia kemudian cuma membatin lapang sembari ketawa-ketiwi seolah tak bereaksi apa-apa terhadap emosi hati, ya ndak mungkin. Kecuali aku ini sufi yang jago zuhud! Semoga tulisan jelek ku ini di muat oleh Mojok.co dan dibaca oleh kaum pengangguran seluruh Asia Tenggara. Amin
Musim corona alias copid songolas atau pandemi memang makin membuat banyak orang sensitif dan sentimentil terhadap hal-hal yang seharusnya tak membuat mereka lekas marah, tetapi malah gampang marah. tentu ada beberapa hal pemantik. selain isu kesehatan, yang paling terdampak setelahnya, ya soal hajat hidup orang banyak. Banyak orang-orang resek mulai tumbuh subur bertaburan di pemukiman planet bumi ketika ekonomi global kita tengah goyah akibat ekses dari virus corona yang entah sampai kapan bakal berakhir. Ya, wajar juga sih?
Ya ndak usah jauh-jauh sih dalam mengambil sampel soal ini, cukup amati dan dengarkan saja cocote tetangga terdekat, makin tajam dan menyayat kan? Oke kilas balik bentar ya. Ketika covid-19, mulai melanda dan statusnya naik jadi pandemi di akhir Maret 2020, obrolan kita dengan tetangga, teman kantor, rekan gosip sejawat, dan mantan pacar, masih seputaran gejala covid 19, pencegahannya, karantina, hand sanitizer, sosial distancing, PSBB, jualan masker online dan lockdown, ya engak jauh-jauh dari isu dan fakta kesehatan atau tindakan preventif melawan virus copid-19. Estimasi awal dari para praktisi kedokteran, virologi, pejabat publik, bapak presiden sampai pejabat korup bahwa virus corona bisa “didamaikan” beberapa bulan kedepan sejak dari Maret 2020 saja ternyata enggak terelisasi. Idiom New Normal sebagai skenario percepatan penanganan covid-19 dalam aspek kesehatan, dan sosial-ekonomi pun sampai sekarang bagai gema kosong dari kebijakan pemerintah yang separuh gagal dan separuhnya lagi gagal banget dalam mengatasi situasi pandemi, Oh My God! Sampai kapan kita bisa berdamai dengan virus? Toh berdamai dengan mantan yang telah nikah saja kita (saya aja kali) berulang kali kandas!
Sudah hampir setahun kita, bukan saja tak mampu berdamai dengan covid-19, melainkan babak bundas oleh keadaan yang tak wajar dan kurang ajar ini. Bijimana lagi, kita dan seluruh wahai kaum proletar swasta se-Indonesia, harus tersuruk-suruk menuju titik nadir krisis pernafkahan, karena perusahaan swasta tempat kita bernaung mencari upah untuk kebertahanan hidup duniawi ini akhirnya banyak kolaps. Terdampak pandemi covid-19, menggulung tikar dan dengan cukup terpaksa si Bos merumahkan banyak karyawannya, dengan dan (ada juga yang tanpa) pesangon. Menjadi pengangguran ketika pandemi saat ini, bagai pesakitan kalah perang dalam memperebutkan wanita idaman, berasa murung, sunyi dan muskil kepada prospek masa depan, (apalagi ia nyatanya seorang jomblo sejati, macam saya, hiks-hiks) berlipat-gandalah derita! Mencari kerja baru pun pelik, melamar kesana-kesini, ya ada panggilan kerja namun mentok di tahap interview. Membongkar isi dompet malah PSBB (Pas Saya Buka Bersih), gak bersisa selembar rupiah yang harum. Menatap langit tetapi mega nya muram, mengaca di cermin malah wajahku seram, meratapi nasib adanya hati kerasa karam. Assh, sok puitis jadinya, akibat terbelenggu kefakiran dunia fana!
Dalam situasi ekonomi sekarang yang serba muskil dan tak menentu kapan pulih lagi, jelas melahirkan banyak kekecewaan mendalam. Menimbulkan sensitifitas dalam sanubari para pekerja formal swasta dan pekerja informal (petani, pedagang kaki lima, ojek online, dll) yang terkena telak dampak pandemi. Pendapatan surut dibarengi oleh laju kebutuhan hidup yang makin meninggi, apalagi bila kalian sudah berumah tangga, menjadi kepala keluarga mempunyai tanggungan untuk anak dan istri. Tentu pandemi, selain membuat anda mumet juga gampang uring-uringan, buntut dari tekanan psikologis ketika rezeki dalam wujud beberapa lembar rupiah menjadi seret. Pokoknya marah-marah kepada hal sepele adalah jalan ninja pelampiasan kita! Lumrah, sebelum marahnya rakyat biasa di larang oleh UUD. Ya, sekarang kita mungkin mulai mengamini, dalam ketertindasan dan keterpojokan sebagai orang biasa tanpa gaji pasti pada masa pandemi, memang membutuhkan saluran kemarahan yang epik akibat ketiadaan fulus. Namun mudah sentimen atau sensitif kepada hal-hal yang tak ada kaitannya dengan persoalan hidup pribadi juga ndak bijak, malah kesannya kekanak-kanakan.
Pandemi kali ini menyadarkan kita, semakin banyak yang sensi. Akar rumput, kalangan kelas bawah, pengangguran sekalian jomblo, marhaen, proletar ortodoks, entah siapa pun kita dan seperti apa kaum borjuis memanggil kita kelas yang dibawah mereka, jelasnya kita memang rapuh, dekat dengan kekumuhan dan rentan oleh kemiskinan. Kita adalah golongan terbawah dari penghisapan struktur ekonomi yang tak juga adil dan ekuivalen, baik sebelum maupun kini, ketika pandemi kita terima sebagai malapetaka yang gak kalah bengis dari kolonialisme dan imperialisme abad-20. Kemarahan jangka pendek kepada sesama orang susah pun menjadi pelarian dari kesempitan cara berpikir dalam menahan emosi. Apalagi Negara pun emoh menjadi bumper dari kemarahan rakyatnya. Sebab negara adalah seharusnya penjamin solusi atas pandemi, meski dana bansos di korupsi oleh bapak menteri.
Pandemi covid-19 membikin angka pengangguran melonjak tajam. Kementerian ketenagakerjaan mendata ada sekitar 3,5 juta pekerja yang terkena PHK (termasuk saya yang kusam dan jomblo ini). BPS mencatat hingga Agustus 2020 jumlah pengangguran naik drastis dari 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Bila keadaan tak kunjung membaik juga sepanjang tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya, lantas kita patut bertanya kepada diri sendiri (sebab bertanya pada Negara, bakal membentur kursi macet para birokrasi, sia-sia); “wajarkah sentimentil dan sensitifitas amarah memuncak dalam rongga dada, bila kemelaratan terus menghimpit?” ya semoga amarah tak menjadi amuk besar, masih ada pikiran jernih dalam akal dan hati bersih dalam dada kita, semoga. Meski pilihan paling budiman saat ini untuk sedikit meredam sensi meninggi akibat situasi pandemi, ialah terbakar amarah sendirian!
Komentar
Posting Komentar